Praktek imperialisme dan kolonialisme di Indonesia mempunyai dampak yang
sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya mengakibatkan terjadinya
penderitaan dan kesengsaraan fisik, tetapi juga psikhis, bahkan akibatnya terasa
hingga saat ini. Selain mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan, imperialisme
barat juga meninggalkan kosakata, budaya, marga, sarana jalan dan beberapa
pabrik gula, dan aturan perundangan.
Politik
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kolonial sangat dipengaruhi oleh
sistem kolonial yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Setelah sistem
tanam paksa dihapuskan pada tahun 1870 pemerintah kolonial menerapkan sistem
ekonomi baru yang lebih liberal.
Sistem tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun
1870. Menurut undang-undang tersebut penduduk pribumi diberi hak untuk memiliki
tanah dan menyewakannya kepada pswasta. Tanah pribadi yang dikuasai rakyat
secara adat dapat disewakan selama 5 tahun. Sedangkan tanah pribadi dapat
disewakan selama 20 tahun.
Para pengusaha dapat menyewa tanah dari guberneman dalamjangka 75 tahun.
Dalam jangka panjang, akibat sistem sewa tersebut tanah yang disewakan cenderung
menjadi milik penyewa. Apabila pada masa sistem tanam paksa perekonomian
dikelola oleh negara maka sejak Undang-undang Agraria 1870 kegiatan ekonomi
lebih banyak dijalankan oleh swasta. Nilai-nilai kapitalisme mulai masik ke
dalam struktur masyarakat Indonesia. Komersialisasi telah menggantikan sistem
ekonomi tradisional. Nilai uang telah menggantikan satuan ekonomi tradisional
yang selama ini dijalankan oleh masyarakat pedesaan.
Masalah sistem perburuhan dikeluarkan aturan yang ketat. Tahun 1872
dikeluarkan Peraturan Hukumam Polisi bagi buruh yang meninggalkan kontrak kerja.
Pada tahun 1880 ditetapkan Koeli Ordonanntie yang mengatur hubungan kerja antara
koeli (buruh) dengan majikan, terutama di daerah perkebunan di luar Jawa.
Walaupun wajib kerja dihapuskan sesuai dengan semangat liberalisme,
pemerintah kolonial menetapkan pajak kepala pada tahun 1882. Pajak dipungut dari
semua warga desa yang kena wajib kerja. Pajak tersebut dirasakan oleh rakyat
lebih berat dibandingkan dengan wajib kerja.
Ekonomi
Di bidang ekonomi, penetrasi kapitalisme sampai pada tingkat individu, baik
di pedesaan maupun di perkotaan. Tanah milik petani menjadi objek dari
kapitalisme. Tanah tersebut menjadi objek komersialisasi, satu hal yang tidak
kekenal sebelumnya dalam masyarakat tradisional di pedesaan.
Dengan demikian, terjadi perubahan dalam masyarakat pedesaan terutama dalam
melihat aset tanah yang dimilikinya. Apabila sebelum adanya UU Agraria tahun
1870 tanah yang dimiliki tidak memiliki arti ekonomi yang penting kecuali untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari maka setelah dikeluarkannya undang-undang
tersebut terjadi komersialisasi aset petani. Penetrasi tersebut sering kali
mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat. Nilai ekonomi uang telah
menggantikan nilai ekonomi menurut cara-cara ekonomi tradisional seperti sistem
barter dan lain-lain.
Sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah sistem
tanam paksa dan sistem kapitalisme menurut Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Melalui kedua sistem tersebut terjadi mobilitas tenaga kerja dari tempat tinggal
mereka ke daerah perkebunan baik yang berada dalam satu pulau maupun luar pulau.
Misalnya, selamatahun 1870 terjadi pengirimam buruh besar-besaran dari Jawa ke
daerah perkebunan di Sumatera.
Dampak lain dari imperialisme Belanda di Indonesia adalah dibangunnya
jaringan jalan raya, jalan kereta api serta perhubungan laut dengan menggunakan
kapal api. Misalnya, sejak tahun 1808, di Jawa dibangun Jalan Raya Post (Groete
Posweg) yang menghubungkan kotakota besar di Jawa. Pada akhir abad ke-19
terdapat 20.000 km jaringan jalan raya di Jawa. Pembangunan tersebut dimaksudkan
untuk menunjang kegiatan perkebunan, pengangkutan barang dan tenaga kerja. Namun
demikian, kondisi tersebut tidak hanya mengakibatkan terjadinya mobilitas
hasil-hasil perkebunan dan barang tetapi juga telah mengakibatkan terjadinya
mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya melalui jaringan jalan
yang ada.
Pembangunan jalan raya juga diikuti dengan pembangunan jaringan kereta api.
Jaringan kereta api di Indonesia termasuk salah satu yang tertua di Asia.
Misalnya sejak tahun 1863 telah dibangun jaringan rel kereta api antara Semarang
dan Yogyakarta. Bebarapa tahun kemudian disusul dengan rel antara Jakarta-Bogor.
Pada akhir abad ke19 telah terhubung rel kereta api antara Jakarta-Surabaya.
Jaringan perhubungan jalan kereta api tersebut telah mempercepat mobilitas
penduduk dari satu kota ke kota lainnya.
Adanya jaringan jalan raya serta jalan kereta api dan hubungan laut telah
membantu mempercepat pertumbuhan kota. Terjadilah urbanisasi atau perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Pada akhir abad ke-19 lahirlah kota-kota baru di
pedalaman serta di pesisir pantai. Demikian juga dengan kota-kota lama menjadi
incaran penduduk untuk bermukim. Lahirnya kota-kota tersebut terkait dengan
perkembangan ekonomi seperti perkebunan serta perdagangan antar pulau.
Pada akhir abad ke-19 lahirlah kota pedalaman seperti Bandung, Malang dan
Sukabumi. Kota-kota tersebut lahir karena di sekitarnya dikembangkan perkebunan.
Sedangkan di pesisir pantai berkembang pula kota-kota pesirir seperti Tuban,
Gresik, Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, Makasar, yang telah lama ada maupun
kota baru seperti Kotaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, dan
Banjarmasin.
Pendidikan
Pembangunan pendidikan telah mempercepat mobilitas penduduk. Sekolah-sekolah
yang didirikan di perkotaan telah menarik minat yang besar dari penduduk
sekitarnya. Banyak penduduk yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya karena
alasan sekolah. Misalnya, para priyayi dari berbagai kabupaten di Jawa Barat
banyak yang berpindah ke Bandung untuk sekolah. Lulusan dari sekolah di sana ada
yang tetap bermukin di kota tersebut, ada juga yang kembali ke daerah asalnya
atau ke daerah lain tempat mereka bekerja.
Pendidikan yang berkembang di Indonesia pada abad ke-19 menggunakan sistem
yang diselenggarakan oleh organisasi agama Kristen, Katholik dan Islam. Sistem
persekolahan Islam menggunakan sistem pesantren. Di luar itu, pemerintah
kolonial menerapkan sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan Islam
dilaksanakan melalui pondok pesantren dengan kurikulum yang terbuka serta staf
pengajar yang berasal dari para kiai. Sistem pendidikan ini lebih menekankan
pada pendidikan agama, kemampuan membaca huruf arab serta dengan menggunakan
bahasa setempat. Sistem pendidikan pesantren dianggap lebih demokratis sebab
membuka kesempatan pada semua golongan untuk memperoleh pendidikan di sana.
Materi pelajaran umum dalam sistem ini hanya mendapat porsi yang lebih kecil.
Namun demikian, melalui sistem pendidikan ini telah dilahirkan banyak orang yang
memiliki pandangan yang maju serta mampu melihat kondisi buruk masyarakat yang
menjadi korban dari imperialisme Barat.
Bersamaan dengan berkembangnya sistem pendidikan pesantren berkembang pula
sistem pendidikan Barat. Hal ini terjadi setelah pemerintah kolonial Belanda
berusaha menjalankan politik etis, politik balas budi kepada bangsa Indonesia
karena telah memberikan kemakmuran bagi negeri Belanda. Sistem tanam paksa telah
menguras kekayaan negeri Indonesia dan dinikmati oleh warga negeri Belanda.
Sementara sebagian penduduk Indonesia terutama yang terlibat dalam sitem tanam
paksa berada dalam kondisi menderita. Menyadari akan kondisi itu, pemerintah
kolonial berusaha menjalankan politik etis melalui pendidikan dan pengajaran
(edukasi), peningkatan pertanian (irigasi) dan pemindahan penduduk
(transmigrasi). Namun, kalau ditinjau secara kritis, pelaksanaan politik etis
sebenarnya bukan untuk balas budi, untuk kepentingan kesejahteraan rakyat
Indonesia, tetapi lebih diutamakan untuk kepentingan praktek imperialisme
Belanda di Indonesia, dengan tamengnya politik etis.
Sistem penididikan yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda menggunakan
sistem Barat dengan menyediakan tempat berupa sekolah, kurikulum serta guru
dengan jadwal teratur. Pada awalnya, sekolah yang didirikan adalah sekolah
gubernemen di setiap kabupaten atau kota besar. Sekolah-sekolah tersebut baru
didirikan pada tahun 1840-an dan diperuntukkan bagi warga pribumi dari golongan
menengah atau anak pegawai pemerintah. Untuk menyiapkan tenaga pengajar maka
didirikan sekolah guru (kweekschool) di Sala (1852) dan Bandung serta
Probolinggo (1866). Lulusan sekolah tersebut ditempatkan di sekolah-sekolah
gubernemen.
Bahasa yang digunakan dalam persekolahan tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa,
Madura atau Melayu, tergantung dari lokasi sekolah tersebut. Demikian juga
dengan buku pelajaran. Pada tahun 1851 telah diterbitkan beberapa buku pelajaran
mengenai pertanian, peternakan, kesehatan dan bangunan. Buku-buku yang dikarang
oleh Holle, Goedkoop, Winter, Wilken dan lain-lain tersebut bersifat praktis dan
dapat langsung diterapkan oleh pembaca.
Keberadaan sekolah tersebut mengakibatkan terjadinya kemajuan yang cukup
pesat dalam bidang pendidikan di Hindia Belanda yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah siswa dan guru antara tahun 18731883. Misalnya, pada tahun
1873 terdapat 5512 jumlah siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16214
tahun 1883. Sedangkan untuk daerah lainnya terdapat 11276 jumlah siswa pada
tahun 1873, meningkat menjadi 18694 sepuluh tahun kemudian. Sedangkan untuk guru
seluruh Indonesia meningkat dari 411 tahun 1873 menjadi 1241 sepuluh tahun
kemudian.
Sosial Dan Budaya
Menurut Sartono Kartodirjo (1988), perkembangan pendidikan abad ke-19
dipengaruhi oleh kecenderungan politik dan budaya sebagai berikut:
1. pengajaran bersifat netral dan tidak didasarkan atas agama tertentu. Hal
ini dipengaruhi oleh faham humanisme dan liberalisme di Negeri Belanda.
2. bahasa pengantar diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya jika murid pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka sekolah harus memenuhinya.
3. sekolah-sekolah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1899 hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja.
2. bahasa pengantar diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya jika murid pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka sekolah harus memenuhinya.
3. sekolah-sekolah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1899 hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja.
Di luar sekolah di atas, pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah kelas
satu atau eerste klasse untuk anak-anak priyayi dengan menggunaan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Sedangkan untuk rakyat kebanyakan didirikan tweede
klasse atau sekolah kelas dua dengan mengguankan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar.
Di tingkat perguruan tinggi didirkan sekolah pertanian di Bogor, sekolah
dokter hewan di Surabaya, sekolah bidan di Weltevreden dan sekolah mantri cacar
di Jakarta yang kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa. Sekolah-sekolah
tersebut diikuti oleh siswa dari kalangan priyayi atau para pamong praja dari
lingkungan keraton atau pendopo kabupaten.
Memasuki abad ke 20, sejarah imperialisme di Indonesia ditandai dengan
semakin banyaknya orang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Mereka
bekerja di sektor pemerintahan sebagai pangreh praja serta pegawai swasta.
Kelompok terpelajar tersebut telah mampu meningkatkan status sosialnya dari yang
berkedudukan rendah menjadi lebih baik.
Dengan demikian, pendidikan mengakibatkan mereka mengalami mobilitas sosial
secara vertikal yang ditandai dengan status baru serta kedudukan baru dalam
berbagai profesi. Kelompok tersebut dinamakan sebagai homines novi atau
orang-orang baru yang lahir karena pendidikan. Mereka merupakan kelompok pertama
dalam masyarakat Indonesia yang pada awal abad ke-20 memiliki kesadaran nasional
dan kemudian menjadi pelopor pergerakan nasional.
Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih rendah dibandingkan dengan
kedudukan pria. Kondisi ini diperkuat oleh struktur sosial masyarakat feodal di
Jawa yang menempatkan perempuan berada di bawah posisi laki-laki. Hukum adat
yang menempatkan perempuan dalam posisi itu dibiarkan oleh pemeriantah kolonial
karena kondisi itu tidak merugikan pemerintah kolonial.
Salah satu adat yang berkembang pada saat itu adalah poligami. Tradisi
tersebut tidak hanya berkembang pada masyarakat kelas bawah tetapi juga di
kalangan golongan bangsawan. Fenomena ini dijelaskan Siti Soemandari (1986:16):
Banyak dari kalangan bangsawan Jawa yang awalnya menikah dengan perempuan
kebanyakan, pada saat akan mendapatkan kenaikan pangkat akan menikah dengan
perempuan dari derajat yang sama untuk mendapatkan anak dari golongan itu. Hal
ini berarti bahwa prestise mendapatkan tempat yang tinggi pada masa itu.
Gelar-gelar kebangsawanan yang didapatkan menunjukkan beruratakarnya feodalisme
dalam komunitas rakyat Jawa. Ini membuktikan bahwa banyaknya permaduan dalam
masyarakat bangsawan sudah menjadi “tradisi feodal”, maka tidak dapat diharapkan
dalam jangka waktu yang pendek memperbaiki struktur itu.
Pada abad ke-19 tradisi pembelengguan perempuan masih cukup kuat. Tradisi ini
tidak beranjak dari tradisi lama dalam masyarakat feodal. Karena tradisi
tersebut, perempuan tidak memiliki kebebasan ke luar rumah. Pingitan ini tentu
saja akan memutuskan komunikasi antara kaum perempuan dengan dunia di
sekelilingnya. Gerak langkah perempuan untuk mengembangkan dirinya menjadi
sangat terbatas.
Mengenai pingitan, Kartini menjelaskan bahwa penjaraku adalah rumah besar,
dengan dikelilingi halaman yang luas tetapi sekitar halaman itu terdapat pagar
tembok yang tinggi. Menyangkut hubungan dengan orang tua, menutur adat,
gadis-gadis yang menjelang dewasa, tidak diperbolehkan bergaul rapat dengan ayah
ibunya. Mereka juga harus menghormati, tunduk dan patuh kepada ayah-ibunya dan
saudarasaudaranya yang lebih tua (Tashadi, 1985).
Tradisi pingitan tersebut lebih menonjol pada anak gadis dari golongan
bangsawan atau priyayi. Sedangkan bagi anak-anak gadis kebanyakan, mereka
sedikit masih memiliki kebebasan. Namun demikian, keadaan buruk tetap menimpa
perempuan dari semua golongan seperti kawin paksa, kawin anak-anak, poligami dan
sebagainya. Perkawinan anak-anak, poligami sistem perseliran dan perceraian
merupakan kesengsaraan bagi kaum perempuan, karena dampaknya adalah
mengkondisikan mereka terjerumus ke arah prostitusi (Wiriaatmadja, 1985).
Hal ini diperburuk lagi dengan terpuruknya ekonomi pada saat itu yang memaksa
kaum perempuan mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
khususnya mereka yang tinggal di dekat perkebunan-perkebunan.
Setelah dibukanya daerah perkebunan berdasar sistem ekonomi kapitalis,
kegiatan prostitusi di tempat itu makin marak. Prostitusi sengaja diciptakan
oleh pemilik perkebunan untuk menanggulangi keresahan sosial di kalangan pekerja
perkebunan. Seperti kasus di Sumatera, pekerja-pekerja perempuan yang
didatangkan dari Jawa yang seharusnya bekerja di kebun, ternyata dipekerjakan
sebagai pemenuh nafsu biologis para rekan prianya, kuli perkebunan (Slamet
Suseno, 1991).
Penderitaan yang berat yang dialami kaum perempuan di perkebunan semakin
diperkuat oleh diberlakukannya peraturan yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Peraturan tersebut adalah Poenale Sanctie, yaitu suatu
peraturan yang memberlakukan sanksi yang ketat terhadap kuli-kuli pekerja
perkebunan baik itu kaum pria maupun perempuan yang dianggap melanggar jam
kerja.
Kedatangan para pria Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan yang
tidak diikuti istri-istri mereka berpengaruh terhadap kehidupan perempuan
pribumi di lingkungan perkebunan. Di daerah tersebut muncul istilah nyai atau
pekerja perempuan yang menjadi gundik pria Eropa. Istilah nyai, atau muncik
sesungguhnya muncul beriringan dengan kedatangan Belanda. Pedagang Asia dan
Portugis sudah terbiasa memelihara nyai (Linda Crystanty, 1994). Perempuan yang
dijadikan Nyai ini terjadi pada keluarga petani miskin dan priyayi yang ingin
mempertahankan kedudukan mereka. Tak jarang dari priyayi tersebut menggundikkan
anaknya demi kedudukan mereka.
Melalui nyai, orang Eropa dapat lebih mudah mempelajari kebudayaan pribumi.
Mereka pun tidak jarang ikut serta dalam kebiasaaan orang pribumi seperti cara
makan, tidur, bergaul dan lain-lain. Perkawinan campuran ini menghasilkan pula
perpaduan antara budaya pribumi dan Eropa. Istri mengikuti gaya hidup suami juga
sebaliknya. Istriistri mereka dibiasakan dalam “budaya modern”, budaya modern
Eropa seperti cara berdansa, melayani rekan kerja, dan lain-lain. Mereka dididik
dengan keras oleh suaminya dan merekapun menjadi perempuan modern pada zamannya.
Namun demikian posisi mereka tetap rawan, mereka harus siap dicampakkan
apabila sudah tidak terpakai lagi ketika suaminya harus kembali ke Eropa. Hal
ini memicu mereka untuk berpikir menanggulangi hidupnya, maka mulailah mereka
ikut serta dalam perniagan yang diselenggarakan oleh tuan tanahnya. Dari sudut
pandang rakyat, kehidupan nyai yang lebih dominan di lingkungan tuannnya,
menyebabkan mereka disejajarkan dengan bangsa tuannya, kebencian rakyat terhadap
bangsa kulit putih menyebabkan perempuan pribumi yang menjadi nyai turut pula
menanggung kebencian itu, karena dianggap pengkhianat (Linda Cristianty, 1994).
Sepeninggal tuannya, para nyai dihadapkan pada pilihan sulit, apakah harus
tinggal di lingkungan bekas suaminya atau kembali kepada kampungnya yang sudah
mencap jelek. Ketika agama Nasrani berkembang, posisi para nyai pun mulai
mengikuti zaman. Hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga agama kolonial
mengeluarkan aturan mengenai hak-hak nyai serta anak-anak yang mereka lahirkan.
Pada awal abad ke-20 hubungan nyai dan tuan hanya sebagai suka sama suka dan
menjadi bisnis tersendiri. Maka para nyai memberontak karena kedudukan mereka
menjadi tidak sejajar lagi. Dalam perkembangan selanjutnya para nyai menjadi
semakin berani, harta dan kemewahan merupakan dambaan mereka yang utama dan
bahkan banyak dari mereka yang berani berhubungan dengan lelaki lain.
Setelah dibukanya sekolah oleh pemerintah Belanda dan adanya kesempatan bagi
warga pribumi untuk sekolah, timbulnya aspirasiaspirasi untuk mengadakan inovasi
dan modernisasi menurut model Barat. Akibatnya, terjadi perubahan cara pandang
golongan terpelajar ini terhadap tradisi mereka. Mereka melihat bahwa banyak
tradisi setempat yang menghambat kemajuan, sehingga timbullah kesadaran bahwa
untuk mencapai kemajuan itu diperlukan suatu liberalisasi dari belenggu adat
istiadat. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk berbagai gerakan sosial dan
budaya. Salah satu gerakan tersebut adalah gerakan emansipasi oleh R.A Kartini.
Kartini yakni dengan pendidikan seorang perempuan dapat meningkatkan
kedudukannya dan dapat memberikan jalan keluar dari semua penderitaan.
Dalam bukunya A.K Pringgodigdo (1994) Kartini memiliki pandangan bahwa
keburukan-keburukan yang menimpa perempuan adalah akibat dari kekurangan
pengajaran. Pengajaran untuk perempuan sangat sedikit sekali, karena orang tua
tidak mengizinkan anak-anak gadis pergi ke sekolah berhubung dengan adat
istiadat. Pandangan inilah yang memberikan inspirasi pada kaum perempuan
terpelajar untuk memperjuangkan hak-hak mereka serta meningkatkan posisinya
dalam kehidupan.
Menurut Cahyo Budi Utomo (1995), secara biologis ada dua jenis gerakan
perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi lokal kedaerahan dan
organisasi keagamaan.
Putri Mardiko merupakan organisasi keputrian tertua yang merupakan bagian
dari Budi Utomo. Organisasi ini di bentuk pada tahun 1912. Tujuannya adalah
memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut
pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Untuk memperbaiki hidup
perempuan, Putri Merdiko memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan.
Tokoh-tokohnya adalah R.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini dan
Sadikin Tondokusumo.
Setelah putri Merdiko lahirlah organisasi-organisasi perempuan baik yang
dibentuk sendiri oleh kaum perempuan maupun organisasi yang beranggotakan kaum
pria. Beberapa di antaranya adalah Pawiyatan Perempuan di Magelang (1915),
Pencintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT), Purborini di Tegal (1917), Aisyiyah
di Yogyakarta (1918), dan Perempuan Susilo di Pemalang (1918).
Salah satu organisasi keagamaan yang memperhatikan masalah kedudukan
perempuan adalah organisasi Aisiyah. Organisasi ini dibentuk atas prakarsa dari
KH.Ahmad Dahlan dan berdiri pada tahun 1917 setelah Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah. Tokoh perempuan dari pendiri Aisiyah ini adalah Ny. Ahmad Dahlan.
Pada awalnya Ny. Ahmad Dahlan memberikan pendidikan kepada buruh-buruh batik.
Hal ini dimaksudkan agar para buruh-buruh perempuan memperoleh wawasan dalam
rangka memperbaiki kehidupannya. Walaupun pendidikan yang diberikan adalah
menyangkut materi keagamaan serta kemampuan baca dan tulis.
Menurut Sukanti Suryocondro (1995), organisasi-organisasi tersebut bergerak
dalam bidang sosial dan kultural, yaitu memperjuangkan nilai-nilai baru dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Tujuan lainnya adalah keinginan untuk
mempertahankan ekspresi kebudayan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat.
Tujuan terakhir ini menunjukan adanya sifat nasionalisme dalam
organisasi-organisasi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar