Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda
mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch,
yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang
terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas
yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri
Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang
besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri.
besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri.
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di
Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor ke
pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa
terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh
sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih
menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari
sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi
rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil
pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah
masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in
natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri
Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa
dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa
Belanda.
Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu
sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara
tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak
positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan
sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah
pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa
di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.
A.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
(1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam
ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi
sebagai berikut:
- Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
- Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
- Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
- Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak
terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya
pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari
ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin
ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda
menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van
den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati
menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan
yang didapat dari pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang
diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil
mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa.
Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat
karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan
sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
Salah satu akibat yang sangat penting dari
tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini
dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa
dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam
menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para
pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah
dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan
mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang
harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
B. Dampak Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam
paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem
eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya,
sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib
dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada
keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk
uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam
paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat
dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya,
penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan
ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan
sukarela.
Mengenai penyelewangan peraturan ini, Fauzi
(1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian
tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi
lebih luas kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian
pula pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut
jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus
menjadi beban pemerintah.”
Secara garis besar sistem tanam paksa ini telah
menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa,
yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri
sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk
menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah
menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem tanam paksa
juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan
lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan penduduk,
selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus
dikerjakan secara fisik cukup berat.
Adapun dampak negatif pelaksanaan sistem tanam
paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan sebagaimana
berikut:
- Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
- Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
- Tanah tanah pertanian yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
- Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C.
Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia
(1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang
internasionalnya bahkan menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk
komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui
betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan
keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat
Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan
berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak
kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam
paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat
di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang
diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan
diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui
tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan
bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka
tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1
keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian
bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga
memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem
tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
- Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
- Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
- Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
- Berkembangnya industialisasi di pedesaan
0 komentar:
Posting Komentar